SELANG sehari, dua wartawan mengalami kekerasaan fisik dan verbal di Provinsi Lampung. Potret masih rawannya profesi wartawan dan masih bergayutnya awan gelap kebebasan pers di negeri ini.
Baru empat bulan memeringati Hari Kebebasan Pers Dunia Tahun 2020, serangkaian peristiwa kekerasan secara fisik dan psikis terhadap wartawan masih menggelayuti kebebebasan pers.
Pertama, seorang pejabat mengintimidasi wartawan di Kabupaten Tulangbawang, Kamis (27/8). Kedua, Panitia Bupati Cup memukul wartawan di Kabupaten Lampung Utara, Jumat (28/8).
Gubernur Lampung Arinal Djunaidi juga pernah beberapa kali gesekan dengan wartawan, termasuk sekali dengan reporter RMOLLampung. Bahkan, kekerasan verbalnya bernada ancaman terhadap wartawan.
Untuk Provinsi Lampung, Indeks Kebebasan Pers (IKP) tahun lalu versi Dewan Pers, raport merah. Lampung predikat kedua terburuk setelah Papua. Secara nasional, kebebasan pers negeri ini di bawah Timor Leste.
Begitulah potret profesi wartawan, penghasilan kecil dengan risiko "direndahkan", dilukai fisik dan hatinya, dipenjarakan, bahkan tergeletak tak bernyawa dengan tubuh penuh luka.
Dengan penghasilan pas-pasan, wartawan juga dituntut bisa berselancar di antara ranjau-ranjau yang setiap saat bisa meluluhlantakan harga diri dan semangat menyampaikan pendapat dan informasi.
Kebebasan pers semakin melorot di negeri ini, kepercayaan internasional semakin luntur. Negeri ini dipandang sebelah mata dalam hal kebebasan persnya.
Freedom House menilai pers Indonesia tidak sepenuhnya bebas. Masih banyak laporan tentang kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis dan media.
Versi Reporters Without Bordes, tahun 2018, IKP Indonesia menduduki peringkat 124 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers (IKP). Timor Leste jauh lebih baik, peringkat 93 dunia.
Beberapa indikator yang digunakan Reporters Without Bordes untuk mengukur indeks tersebut antara lain pluralitas media, independensi, transparansi, dan swasensor.
Selama 2019, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat terdapat 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers bahkan lebih tinggi lagi, 79 kasus.
Meski telah mendapatkan perlindungan dari UU Pers sejak tahun 1999, wartawan masih sering dihalang-halangi dalam bekerja. Mereka diancam diperlakukan buruk bahkan kekerasan fisik.
Tak hanya risiko di lapangan, payung hukum yang alih-alih semakin melindungi kebebasan pers pascareformasi ternyata sewaktu-waktu juga bisa makin membelenggu wartawan dan media.
Awan hitam kebebasan pers semakin menggelapkan cakrawala pers di negeri kita lewat Revisi Undang-Udang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Ombnibus Law.
Pemerintah dan DPR mempertahankan pasal-pasal yang selama ini potensial mempidanakan pers. Pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja, ada pasal yang tak sejalan dengan UU No.40 tentang Pers.
Dalam draf RUU KUHP, ada sembilan pasal yang bisa mempidanakan jurnalis, yakni tentang penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 241), hasutan melawan penguasa (Pasal 262), penyiaran berita bohong (Pasal 262), berita tidak pasti (Pasal 263).
Lainnya, penghinaan terhadap pengadilan (Pasal 281), penghinaan terhadap agama (Pasal 305), 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara (354), pencemaran nama baik (Pasal 440), pencemaran orang mati (444).
Dalam Ombnibus Law RUU Cipta Kerja memuat sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar Pasal 9 dan Pasal 12 Undang-Undang Pers.
Pasal 9, perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia. Pasal 12, perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawabnya.
Gelombang penolakan terhadap rancangan tersebut lewat tagline #ReformasiDikorupsi, September tahun lalu, hanya bisa menunda. Pemerintah dan DPR RI rencana melanjutkan pembahasannya.
Pada 7 Februari lalu, Mahkamah Agung sempat mengeluarkan surat edaran keharusan izin ketua pengadilan untuk pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV.
Setelah diprotes wartawan dan masyarakat sipil, Mahkamah Agung mencabut ketentuan tersebut.
Kapolri mengeluarkan telegram No.ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 tertanggal 4 April 2020 tentang Tindak Pidana Pada Ranah Siber yang juga soal penghinaan kepada presiden atau pejabat pemerintah selama pandemi Covid-19.
Kebijakan tersebut berpotensi mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi masyarakat yang ingin mengkritik pemerintah.
Sejumlah regulasi lainnya juga berpotensi mengancam kebebasan pers, antara lain pasal penodaan agama, UU ITE, UU Pornografi dan KUHP.
Seharusnya, aparat penegak hukum dapat menuntaskan kasus-kasus kekerasan tersebut sesuai Undang-Undang Pers. Kekerasan terhadap wartawan mencederai demokrasi.
Dalam UU Pers, siapapun yang menghambat ataupun menghalangi kerja jurnalistik hukuman pidana maksimal dua tahun penjara atau denda Rp500 juta sesuai pasal 18 UU NO. 40 tentang Pers.
Dalam kasus-kasus kekerasan, penyelesaian terbaik itu adalah proses hukum. Penyelesaian secara damai, mungkin bagus dalam jangka pendek, tapi buruk dalam jangka panjang.
Kasus kekerasan yang diselesaikan secara damai akan seperti memelihara kekerasan itu sendiri.
Aparat penegak hukum sebaiknya memperbaiki akuntabilitas proses hukum kasus-kasus kekerasan, kriminalisasi terhadap jurnalis dan media. Termasuk mengutamakan penyidikan kasus pers melalui mekanisme UU Pers.
Kekerasan terhadap jurnalis, dalam bentuk apa pun, harus distop. Jika tidak, publik akan kehilangan institusi yang membantu mengawasi jalannya pembangunan oleh pengelola negara.
Dari sudut HAM, wartawan adalah pembela terdepan yang harus dilindungi dari serangan dalam bentuk apa pun.
Kebebasan Pers dan JMSI
Kebebasan pers (freedom of the press) harus diperjuangkan karena hak yang diberikan secara konstitusional tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.
Secara konseptual kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih.
Melalui kebebasan pers masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme chek and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri.
Karena itu, media dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Kebebasan pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment.
Dari berbagai elemen pers yang sudah ada, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) yang baru saja sukses menggelar secara virtual Munas I JMSI hadir memberikan angin segar dalam upaya menuju ke hal tersebut.
Tokoh pers Hendry Ch. Bangun yang mengikuti proses kelahiran JMSI pada Hari Pers Nasional (HPN) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 8 Februari 2020, yakin JMSI adalah aset ikut menumbuhkan ekosistem pers yang sehat dan profesional.
JMSI yang akan mendaftaran diri sebagai konstituen Dewan Pers pertengahan bulan depan adalah wadah para pemilik pers khususnya media siber yang berobsesi menyongsong atmosfir wartawan dan media profesional.
"Jika bukan kita siapa lagi, jika tidak sekarang kapan lagi? NKRI harga mati, kebebasan pers harga diri."
*Plt Ketua JMSI Lampung