Isbedy: Tempatku Bukan "Menara Gading"

Isbedy menularkan berkesenian puisi kepada santri Ponpes Al Farabi/Ist
Isbedy menularkan berkesenian puisi kepada santri Ponpes Al Farabi/Ist

PONDOK Pesantren Al Farabi, Jumat (17/9) pukul 14.00. Suasana pondok di Desa Halanganratu, Kecamatan Negerikaton, Kabupaten Pesawaran itu, tenang. Meski aktivitas santri pria berjalan normal. Pembelajaran ekstra kulikuler juga berlangsung di sini. Seperti pertanian, komputer, juga susastra. 

Pembelajaran ekskul, Ponpes Al Farabi mendatangkan sastrawan nasional asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS.

Sastrawan Lampung yang sudah banyak menelurkan buku sastra ini, setiap Jumat petang selama 1 jam lebih memberi materi pengenalan, penulisan, dan pembacaan karya sastra. 

"Saya dibantu istri, Fitri Angraini. Dia khusus bicara teori karena memang dari akademik," kata Isbedy yang dijuluki HB Jassin sebagai Paus Sastra Lampung.

Sang istri, Fitri Angraini dengan setia mendampingi Isbedy/Ist

Ia menjadi "guru" di sana sudah berjalan 2 bulan atau 6 kali pertemuan. Setiap Jumat, pergi-pulang ke pondok pesantren di Desa Halanganratu, Negeri Katon itu.

"Sekira 1 jam lebih dari rumah," jelasnya. 

Ia mengaku tidak lelah harus sepekan sekali mengajar. Alasannya, sudah "panggilan" dari hati. Padahal, ia akui, soal apa yang didapat dari kerjanya itu sangat kecil dibanding jika ia diundang di acara sastra lain.

"Tempatku memang seperti ini, mengenalkan sastra. Syukur kalau ada yang tertular nantinya," ucapnya

Ditambahkan pengampu Lamban Sastra ini, ia tak biasa berada di menara gading. "Karena saya sudah mapan atau tersohor lalu duduk manis di menara gading? Itu bukan tipe saya!" tandas dia.

Sayang Isbedy tak menjelaskan soal menara gading yang dikatakan. Tetapi, ia menganalogikan, banyak seniman Lampung yang berlomba/berebut ingin duduk di lembaga kesenian, hanya untuk mendapat fasilitas kemudahan bagi dirinya. 

"Ya seperti buat jadwal lalu acaranya di isi sendiri. Saya tak bisa begitu. Maka saya memilih berkarya sendiri, memberi apresiasi, diundang jadi nara sumber, dan lain-lain."

Ia menolak jadi seniman di "menara gading" yang melihat seniman lain atau nasib seniman dari atas. 

"Bukan itu tugas suatu organisasi yang katanya memayungi seniman. Bagaimana mengangkat harkat karya dan nasib seniman yang diayomi," lanjutnya.

Seusia Isbedy kini dan lebih 30 tahun berkesenian, selayaknya menjadi "empu" atau "pengampu". 

"Saya ini orangnya tak bisa diam. Saya ingin terus berproses, baik berkarya maupun mencari bibit baru di taman sastra Lampung."

Biarlah mereka yang berada di menara gading, imbuh Isbedy, karena di situ bukan tempatku.