HIV (human immunodeficiency virus) masih menjadi momok, bukan hanya bagi masyarakat, bahkan sejumlah paramedis juga merasa khawatir yang berlebihan akan tertular. Hal ini tentu membuat sejumlah populasi kunci (ponci) mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan kesehatan. Salah satunya seorang ibu berinisial P.
- 12 Dokter Internship Pamit Setelah Tugas Setahun di Lampung Selatan
- Polres, TNI dan Pemkab Pringsewu Gelar Vaksinasi di 14 Gerai
- Varian Baru Covid-19, Inggris Buka Kembali Rumah Sakit Darurat
Baca Juga
Malam itu P dengan panik membawa anak laki-lakinya ke layanan kesehatan terdekat. Sang anak tampak sesak napas dengan bibir dan kuku tangan serta kaki berubah warna menjadi biru. Anak berusia 8 tahun itu membutuhkan penanganan pertama dengan cepat.
P menyampaikan jika anaknya mengidap paru-paru, jantung dan juga HIV. Namun dokter yang berjaga saat itu tidak mau melakukan pemeriksaan dan meminta untuk segera membawanya ke rumah sakit. Dengan berlinangan air mata, P terpaksa membawa anaknya pulang dan meminta tolong tetangga untuk menganter ke rumah sakit dengan menggunakan mobil. Waktu tempuh dari rumahnya menuju Rumah Sakit (RS) Abdul Moeloek cukup lama yakni 1 jam 30 menit.
Perempuan berusia 36 tahun itu mengaku sudah dua kali mengalami penolakan oleh layanan kesehatan setelah mengetahui anaknya mengidap HIV. Penolakan pertama terjadi pada Januari dan terulang pada Agustus 2022.
Tak sampai disitu, P mengaku sempat mengalami diskriminasi oleh oknum perawat di rumah sakit. Saat itu anaknya yang berada di ruang isolasi dewasa harus dipindahkan ke ruang isolasi anak karena sudah ada kamar yang kosong. Namun anaknya menolak lantaran tak nyaman dengan udara yang pengap.
“Saya membujuk perawat itu agar diletakkan di kamar kosong supaya anak nyaman, tapi perawat itu bilang enggak bisa dan harus berada di ruang isolasi karena takut nanti nularin ke yang lain. Kalau memang enggak mau disitu ya sudah mending pulang saja. Saat itu aku langsung nangis mendengar perkataan perawat itu dan akhirnya ada perawat lain mengizinkan untuk menempati ruangan kosong itu,” kata P saat berbincang dengan Kantor Berita RMOLLampung, Selasa (15/11).
P menjelaskan jika anaknya S diketahui positif HIV saat berusia 2 tahun 9 bulan pada 2017 lalu. Saat itu anaknya mengidap tuberkulosis (TBC) dan pernah mengalami kebocoran paru-paru dan harus dirawat di RS Bhayangkara. Setelah seminggu dirawat pihak rumah sakit menyarankan agar S dirujuk ke Abdul Moeloek untuk dilakukan tes HIV dan hasilnya positif.
“Saat itu dokter menyarankan agar satu keluarga inti melakukan tes HIV, tapi saat itu saya belum siap karena memang kondisi saya masih sehat. Alhamdulilah dikasih kesehatan untuk merawat anak saya,” ujarnya.
Setelah satu tahun, tepatnya Februari 2018 akhirnya P melakukan tes HIV karena tubuhnya menunjukan gejala ruam. Ia pun dinyatakan positif HIV dan harus mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV) seumur hidup.
“Dokter saat itu menekankan untuk tes dengan melihat tanda ruam, dia bilang kita sayang sama anak, jadi kalau bukan kita siapa lagi yang akan ngurus, kalau kita tidak ada bagaimana nanti jadinya. Setelah S agak sembuh dan tidak sering masuk rumah sakit, saya cek dan hasilnya positif," ujarnya.
Sementara itu, suaminya yang berada di Bogor tidak pernah memberi tahu jika kondisinya juga sedang tidak sehat. Awal 2018 mertua P memberi kabar jika suaminya sakit kulit cukup parah, bahkan kepalanya sudah botak karena luka kulit disekujur tubuhnya. P meminta suaminya untuk pulang ke Lampung dengan ancaman percerainan jika tidak dituruti.
“Saya ingin merawatnya, mau dia mati maupun sehat. Dia kekeh tidak mau pulang dan akhirnya aku mengancam untuk pisah saja. Aku nikah bukan untuk senengnya saja, dan akhirnya dia pulang,” jelas ibu dua anak itu.
Tak lama setelah tiba di Lampung, P meminta suaminya untuk tes HIV, namun suaminya menolak. Tak putus asa disitu saja, P sampai mengundang komunitas HIV untuk memberikan edukasi kepada suaminya hingga akhirnya mau tes dan dinyatakan positif HIV.
“Setelah meminum ARV suami saya berangsur sembuh dan saat ini sudah kembali bekerja di luar kota untuk mencari nafkah,” ujarnya.
P mengatakan jika satu keluarganya hanya anak pertamanya yang dinyatakan negatif HIV. Walaupun begitu, anak perempuan itu tak takut tertular HIV dan tetap membantu merawat adiknya yang akan kambuh saat telat minum obat.
“Salah satu alasan saya bisa bertahan hingga saat ini yakni anak, karena saya ingin hidup lebih lama agar bisa melihat S tumbuh besar dan menjadi anak yang membanggakan. Kakaknya juga luar biasa, dia selalu ada saat saya sedang ada keperluan di luar,” jelasnya.
Lebih lanjut P mengaku belum mau menceritakan sakitnya kepada orang tuanya dan juga masyarakat sekitar. Pasalnya ia pernah menceritakan kepada kakak kandunganya, namun akhirnya dijauhi dan tak pernah mampir kerumahnya lagi.
“Saya menyesal sudah memberi tahu hal tersebut. Pernah bapak ibu saya pulang dari sawah gatel-gatel, kakak memandang saya seolah jika saya telah menularkan kepada kedua orang tua saya. Padahal penularan HIV itu tak segampang itu,” ujarnya.
Saat ini P mengaku ingin fokus mengembangkan diri di Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Lampung. Ia ingin saling menguatkan dengan sesama positif agar tidak menyerah dan menerima kondisinya.
“Pesan aku sebagai perempuan positif jangan menyerah untuk anak, kadang-kadang banyak keluhan, tapi kita harus berjuang. Kalau bukan kita siapa lagi, kita adalah emak-emak kuat emak-emak sehat,” tuturnya.