Ketika Desa dan Kota Melebur Menjadi Satu

Dr Eng Ir IB Ilham Malik ST, MT, IPM, ATU/ Ist
Dr Eng Ir IB Ilham Malik ST, MT, IPM, ATU/ Ist

DULU banyak yang beranggapan bahwa bencana alam semacam banjir akan melanda kota-kota besar. Sebab disana ada perubahan lahan yang menyebabkan ketidak seimbangan alam atau lingkungan.

Perubahan lahan ini bukan tanpa sebab. Penambahan jumlah penduduk dari waktu ke waktu telah mengubah landskap alam. Dan itu semua ditujukan untuk memenuhi “kebutuhan” manusia urban. Bahkan terkadang (atau sering?) meleset menjadi memenuhi “keinginan” manusia urban. Terminologinya sudah berubah. Maqom-nya sudah berbeda. 

Tapi ternyata bencana alam tidak kenal kota ataupun desa. Ada banyak berita dan cerita, dimana-mana ada desa yang banyak terkena bencana semacam banjir. Desa yang dikenal dengan kehidupan yang bersahabat dengan alam dan aman dari bencana alam karena diasumsikan bahwa warga desa adalah warga yang serba “berkecukupan” dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, ternyata kini tidak lagi demikian.

Warga desa yang dikenal menjaga alam, menjaga lingkungan dan menjaga keseimbangan interaksi antara manusia, alam dan aktivitasnya, pada kenyataannya terkena juga bencana semacam banjir ini.

Dulu ada yang membedakan kehidupan pedesaan dan perkotaan. Rural dan urban. Karena dianggap memiliki “perbedaan” yang unik antar keduanya, antara desa dan kota, maka keduaya bisa saling belajar satu sama lain.

Bahkan dulu bisa dibuatkan tabel kesamaan dan perbedaan antara kehidupan social, ekonomi, pandangan penduduknya tentang kehidupan, dan lain sebagainya. Tetapi menariknya, apa yang di kritik dari kehidupan di daerah urban, ternyata kini juga terjadi di kehidupan pedesaan.

Sebagai contoh adalah soal okupasi lahan. Dulu banyak yang concern dengan perilaku kasar warga kota pada lingkungan yang selama ini memenuhi kebutuhan kota-nya. Tetapi kini soal pengrusakan alam dan lingkungan juga terjadi di pedesaan. Sehingga kondisinya kini bukan soal pada “apa yang ada di kota tidak bisa berlaku di desa”.

Tetapi lebih dari itu semua, yaitu soal pandangan hidup warga (desa dan kota) yang memberikan pengaruh pada interaksi mereka dengan alam. Ini soal “kerakusan” manusia-nya. Bukan soal manusia kota atau manusia desa lagi.

Penduduk desa memang bukan mereka yang mengolah dan memanfaatkan lahan di sekitarnya untuk permukiman atau property bangunan. Tetapi mereka ternyata memanfaatkan lahan di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan “warga kota” melalui ekspolitasi lingkungan yang ada disekitar mereka, yang akan membawa warga desa pada pemenuhan pada “modal hidup” a la kota. 

Sebagai contoh adalah soal kebutuhan tanah dan bebatuan. Dalam upaya untuk menimbun dan membangun lahan di Kawasan perkotaan, maka warga kota meminta supply dari warga di pedesaan. Dan kemudian warga pedesaan, “merelakan” alam disekitarnya diekspoitasi.

Skemanya macam-macam, bisa saja ditambang oleh warga desa setempat, atau lahannya mereka jual lalu di ekspoiltasi oleh penduduk kota, atau gabungan diantaranya. Hal yang sama untuk urusan pemenuhan kebutuhan pokok.

Lalu akhirnya ketidakseimbangan alam pun terjadi di desa. Tak lagi hanya ada di perkotaan. Kerusakan alam kini terjadi pula di desa, tak lagi hanya di daerah perkotaan. Akhirnya banjir juga terjadi dimana-mana, bukan lagi hanya ada di Jakarta, bukan lagi ada di kota-kota besar lainnya. Tetapi juga terjadi di desa-desa semacam di lima desa di Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, di suatu waktu yang lalu. 

Jadi, lalu apa yang perlu dilakukan? Tak ada. Kerakusan mengekspoiltasi alam memang melanda semua manusia. Ada di semua level manusia. Kadarnya saja berbeda. Tempatnya juga yang berbeda. Dan pada akhirnya semua berpulang pada kemampuan diri-diri pribadi dalam mengendalikan diri. Kerausan memang ada di semua orang. Sudah menjadi modal dasar hidup. Tinggal kemampuan didalam mengendalikannya saja.

Akhirnya kini, dikotomi dalam pemaknaan desa dan kota menjadi semakin tidak nyata lagi. Desa tak lagi menjadi entitas penyangga kehidupan yang “berkelanjutan”. Tetapi desa kini sudah menjadi tempat yang sejenis kehidupan kota dalam skala rendah. Ditambah lagi dengan supply budaya kota ke desa, serta adanya “dana desa” yang digunakan untuk menularkan “gaya hidup“ kota ke desa. 

Jika begitu, dalam *merencanakan “pembangunan” desa dan kota, kini tak lagi ada pembedaan*. Sama saja, bedanya hanya di skala. Ditambah lagi masih ada juga kota-kota yang “ndeso” yang menyebabkan “budaya modern” ingin masuk mengubahnya. Dan memang diibanyak tempat, modernitas pasti lolos dan melenggang menang.

Tentu, rasanya, tetap perlu ada dikotomi kehidupan kota dan desa. Agar keduanya menjadi dua entitas yang memang berbeda. Sehingga manusia bisa memilih menjadi orang desa atau orang kota.

Jika kita ingin semua manusia bisa hidup dalam konteks menikmati hidup ala modernitas seperti sekarang yang katanya serba canggih, mudah dan “mahal”, maka tarik saja semua warga desa ke kota. “Kosongkan” desa-desa kita yang jumlahnya mencapai lebih dari 83.000 desa. Kumpulkan manusia di 9000-an kecamatan yang bisa direkayasa menjadi ribuan kota di Indonesia.

Biarlah desa tempat menikmati alam, dan kota tempat menikmati hidup.

Penulis adalah Dosen Jurusan Teknologi Infrastruktur dan Kewilayahan, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Sumatera/ITERA)