KASUS Muhammad Jimmy Goh Machsun (JGM), terdakwa mantan GM GMP cukup menarik perhatian. Betapa tidak, JGM dulunya adalah orang yang paling berkuasa baik dari segi policy dan keuangan di GMP. Ia dapat mengeluarkan dana no limit. Info gajinya saja Rp125 juta per bulan.
Sekarang, dia menjadi pesakitan, ditahan di rutan, miskin dan tidak punya harta benda. Tetapi, ia mualaf yang istiqomah. Salat lima waktu tidak pernah tinggal, zikir, baca Alquran dan puasa senin kamis.
Karena dulu ia banyak membantu pesantren dan masjid-masjid, kawannya banyak, bahkan para tahanan, termasuk napi begal banyak membantunya.
Semula, ia diduga menggelapkan uang perusahaan sekitar Rp400 miliar, tetapi dalam persidangan di PN Gunungsugih, dakwaan jaksa berubah menjadi sekitar Rp200 miliar. Fakta-fakta persidangan, berdasarkan audit internal, neraca keuangan tahunan selalu balance. Artinya, pengeluaran pribadi JGM dalam bentuk hutang selalu dibayar pada akhir tahun.
Tiba-tiba ada perhitungan audit eksternal sepihak yang hanya menghitung dana keluar tanpa memperhatikan dana masuk, sehingga terdapat kerugian perusahaan. Termasuk menampilkan adanya SPK fiktif.
Perusahaan kemudian menggugat secara perdata di PN Jaksel yang putusannya JGM harus membayar kerugian perusahaan dengan melakukan CB terhadap aset-asetnya, ada rumah, tanah semua sudah diambil perusahaan.
Persoalan tidak berhenti di situ saja, sekarang JGM dituntut pidana penggelapan.
Anak saya yang kuliah di fakultas teknik tertawa geli mendengar itu. Katanya, ibarat orang punya hutang untuk beli HP. Ditagih supaya bayar dan mau dilaporkan polisi, karena takut, akhirnya ia bayar. Tetapi tetap dilaporkan ke polisi dan polisi bilang itu pidana.
Prejudiciel Geschill
Dalam KUHP, ada prejudiciel geschill, pilihan hukum menyelesaikan perkara secara pidana atau perdata.
Pertama, prejudiciel al' action, yaitu mengenai perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam KUHP, antara lain Pasal 284 KUHP, dimana disebutkan ketentuan perdata diputus lebih dulu sebelum mempertimbangkan penuntutan pidana.
Kedua, question prejudiciel au jugement, yakni menyangkut permasalahan yang diatur dalam Pasal 81 KUHP. Pasal tersebut sekedar memberi kewenangan kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu adanya putusan hakim perdata mengenai persengketaan. Hal ini juga diatur dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 1956.
Pertanyaannya prejudiciel geschill ini mutlak atau tidak? Chairul Huda (2007) menuturkan teori menyangkut hakikat peran negara dalam menyelesaikan konflik kemasyarakatan saat ini juga sudah mengalami perkembangan.
Kalau dulu, negara mengambil posisi dominan, termasuk dengan memberdayakan hukum pidana. Sekarang, peran negara justru ingin diundurkan, sejauh mungkin konflik kemasyarakatan diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri.
Di sinilah menurutnya sebenarnya asal ketentuan prejudiciel geschill. Yakni adanya kasus-kasus tertentu yang unsur publiknya tidak murni, karena juga ada unsur privat di dalamnya. Sehingga campur tangan negara terhadap quasi privat atau quasi public menunggu penyelesaian dari segi privatnya.
Di luar sengketa perdata atau pidana muncul tentang SPK fiktif yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 263 KUHP sebagai tindak pidana membuat surat atau memalsu surat yang ternyata tidak didakwakan jaksa.
Maka, apabila masyarakat (dalam hal ini perusahaan) telah menempuh penyelesaian secara perdata, seharusnya tidak ada lagi tuntutan pidana terhadap JGM. Hutangnya sudah dibayar, perusahaan sudah tidak rugi lagi.
Apalagi terdapat Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang telah menentukan bahwa sengketa utang piutang tidak boleh dipidana penjara. “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.”***
* Kaprodi Magister Ilmu Hukum Unila