Paman di Tuba Divonis 8,5 Tahun Kasus Perkosaan, Keluarga Terdakwa Sebut Kurang Bukti, Jaksa Beri Penjelasan

Tangkapan layar akun tiktok @billaptryyyyyyy
Tangkapan layar akun tiktok @billaptryyyyyyy

Seorang paman di Penawar Rejo, Unit 1 Tulang Bawang (Tuba) bernama Paidi bin Abdul Roni (50) divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri (PN) Menggala.


Paidi dinyatakan terbukti melakukan perkosaan terhadap anak di bawah umur berinisial ML (16) yang merupakan keponakan jauhnya. 

Kasusnya kemudian viral di berbagai media sosial mulai dari instagram, tiktok, twitter hingga facebook setelah akun Instagram @billaaptry yang mengaku anak dari terdakwa membuat instastory kronologi versi keluarga, Kamis (2/6).

Di mana, akun @billaaptry membantah tudingan perkosaan yang dilakukan ayahnya dan menyebut hal itu adalah fitnah dari korban dan keluarganya. Pasalnya, sudah ada perdamaian dan permintaan maaf dari keluarga korban. 

"Selanjutnya terjadi lagi perdamaian yang kedua. Upaya perdamaian itu dilakukan oleh pengacara kami yang pertama. Ibu dan kk Ml menandatangani surat perdamaian itu terlebih dahulu," tulisnya. 

Perdamaian tersebut, lanjutnya, dilakukan di Polres Mesuji tempat ayahnya ditahan agar ayahnya dapat ditangguhkan dan dibebaskan. Namun, para penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan seolah memaksakan tuduhan pemerkosaan itu kepada ayahnya.

Menanggapi itu, Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejaksaan Negeri Tuba Leonardo Adiguna mengatakan, setelah dibacakannya tuntutan hingga putusan atas kasus tersebut, memang banyak opini di media sosial yang menyebut ada kejanggalan atas kasus itu.

Beberapa opini itu di antaranya penanganan perkara penuh dengan rekayasa, dipaksakan, dan terdapat permainan uang antara penegak hukum dan korban.

Namun, lanjut Leo, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah melaksanakan hukum acara serta Standard Oprasional Prosedur (SOP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang undangan. 

Di mana, dalam pembuktian di persidangan dengan memperhatikan Pasal 183 KUHAP yang mana terdakwa dituntut berdasarkan dengan alat bukti yang sah. 

Di antaranya, keterangan lima saksi termasuk saksi korban, tiga saksi ahli yang terdiri dari ahli pidana, ahli psikologi dan ahli dokter kandungan. 

"Tiga alat bukti surat yaitu Visum et Pertum korban, Surat Hasil Pemeriksaan Psikologis dan Konseling terhadap korban dan Surat Hasil laporan Sosial atas nama korban," ujar Leo melalui keterangan tertulisnya. 

Leonardo menambahkan, alat bukti lain adalah petunjuk dan keterangan terdakwa, serta telah memberi kesempatan terdakwa untuk menghadirkan saksi dan ahli yang meringankan kan bagi diri terdakwa. 

Atas dasar itu, kata Leonardo, jaksa penuntut menilai pembuktian terhadap perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa telah dilakukan secara komprehensif.

"Sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan yang diperbuat oleh terdakwa (kettingbewijs) dan jaksa penuntut berkesimpulan terdakwa telah terbukti dan majelis hakim memperoleh keyakinan tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya," pungkas Leo.