- Penghadangan Sosialisasi Balonkada, Wali Kota Dapat Dimakzulkan
- Pelajaran Dua Kali Gagalnya Calon Independen Di Bandarlampung
- Antara Gizel Dan Manusia-Manusia Yang Ditelanjangi Kekuasaan
Baca Juga
TIRUAN dalam kehidupan nyata yang dilakukan oleh media saat ini tidak hanya berkutat pada seni semisal film, novel, ataupun drama. Tetapi tiruan itu sekarang sudah memasuki dunia-dunia lain di luar daripada seni seperti dunia politik, dunia ekonomi, bahkan dunia hukum.
Tiruan itu dalam ilmu filsafat disebut dengan simulakra. Simulakra adalah tiruan yang sama sekali tidak memiliki substansi dan kualitas yang tepat dengan realitas, atau bukan realitas. Bahkan tiruan atau simulasi yang begitu mirip atau efektif, menurut Jean Baudrillard, dapat membuat orang kesulitan untuk membedakan antara yang 'benar' dan yang 'salah', antara sesuatu yang 'nyata' dan yang 'imajiner'.
Itulah yang sedang dialami oleh dunia hukum saat ini. Terlalu banyak hal yang seolah-olah hukum padahal bukan hukum. Akhirnya masyarakat dibuat bingung dan meyakini yang seolah-olah hukum itu adalah hukum. Masyarakat tidak salah dalam hal ini karena dunia tiruan itu mengangkat tema hukum dan figur-figur yang dihadirkan diketahui pula berlatar belakang hukum.
Seolah-olah Hukum
Hal yang seolah-olah hukum itu bermukim sedikit banyaknya pada acara talkshow tentang suatu permasalahan hukum. Kita ketahui bersama bahwa sifat asali dari talkshow itu tidak hanya sekedar berbincang (talk) tetapi menampilkan pertunjukan (show).
Logika kapitalistik tentu tidak memperdulikan kualitas. Sebab itu pertunjukan yang semestinya berisi perbincangan yang mencerahkan, menampilkan analisa ilmiah, dan faktual tidak diutamakan.
Bagi bisnis yang paling utama adalah show-nya, yang diukur dari seberapa banyak penonton yang tertarik dan meningkatnya rating acara, sehingga dengan itu iklan serta jalur cuan lainnya dapat diraup.
Hal ini kemudian ditampilkan secara terus menerus hingga tanpa disadari justru mengabaikan hal-hal yang paling prinsip dari hukum. Dampak terburuknya adalah terkikisnya kewibawaan hukum dan melemahnya upaya pembangunan ketertiban hukum di masyarakat.
Tidak jarang dalam acara itu narasumber yang diundang justru melakukan tuduhan hanya berdasarkan asumsi. Seperti menentukan "Si A ini jelas bersalah. Dialah pelaku utamanya".
Membangun narasi yang berbasis pada cocokologi seperti "jika yang terjadi A ya maka otomatis B. Tidak sulit menilai itu".
Bahkan terkadang membuat opini yang cenderung dapat mengintimidasi kerja-kerja penegak hukum. Dalam talkshow tak jarang bertebaran ungkapan "jika kemudian Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim melakukan hal yang berbeda dari yang kita ucapkan berarti Kepolisian dan Kejaksaan ini ada 'sesuatu' atau 'masuk angin'. Catat ya".
Masyarakat kemudian menyadur semua itu tanpa menyaring. Melakukan penyebarluasan asumsi itu ke berbagai media yang dapat mereka jangkau. Hingga akhirnya yang nyata dari hukum tergantikan oleh yang seolah-olah hukum.
Yang Asli dari Hukum
Padahal yang asli dari hukum adalah mendahulukan terbukanya fakta ketimbang opini. Tidak bisa suatu kesimpulan diperoleh tanpa adanya fakta terlebih dahulu. Fakta tersebut pun diperoleh dengan bantuan alat bukti yang sah oleh hukum sebab in criminalibus, probationes bedent esse luce clariores (alat bukti yang diperlihatkan di persidangan itu harus jelas, harus lebih terang dari cahaya).
Tuduhan di dalam hukum juga hanya boleh dilakukan oleh pihak yang berwenang. Itupun dengan standar aturan yang telah ditentukan oleh hukum acara. Jika yang melakukan orang biasa maka dapat diduga telah melakukan tindak pidana baik fitnah maupun pencemaran nama baik.
Jika dilakukan secara umum dengan ucapan dan tulisan maka dikenakan hukuman menurut Pasal 310 KUHP. Sedangkan jika tuduhannya dilakukan di ruang siber maka dapat dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Tuduhan yang dilakukan kepolisian, dengan dibantu setidaknya dua alat bukti, berujung pada penetapan status seseorang menjadi tersangka. Tuduhan jaksa melalui surat dakwaan menempatkan orang yang semula disangka itu menjadi terdakwa.
Untuk melakukan suatu tuduhan tersebut pun prosesnya diatur di dalam undang-undang dan dapat diuji sebaliknya. Jika tuduhan tersangka itu dirasa keliru maka dapat dimintakan Pra-Peradilan. Sedangkan tuduhan terhadap status terdakwa dapat diuji melalui pembuktian di persidangan.
Tuduhan dimaksud sebelum diputuskan oleh Hakim maka harus tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Hakim nanti bersikap independen dengan tanpa tekanan dari pihak manapun. Hakim juga imparsial atau mendengarkan kedua belah pihak secara proporsional. Disitulah fungsinya asas praduga tak bersalah.
Selain menempatkan posisi seseorang secara adil, terkadang juga terjadi di dalam pembuktian itu ada fakta-fakta lain yang membuat apa yang dituduhkan itu ternyata tidak terbukti.
Konteks modernisme hukum terkesan eksklusif dan egois tetapi itulah hukum . Lex dura sed ita scripta atau undang-undang itu keras, tetapi ia telah ditulis demikian. Satu hal yang perlu digarisbawahi juga bahwa hukum modern itu tidak bisa menjamin bahwa yang benar akan menang dan yang salah akan kalah. Dalam persidangan intinya adalah kemampuan melakukan suatu interpretasi.
Penutup
Kenyataan ini perlu segera kita evaluasi bersama demi terwujudnya ketertiban hukum di masyarakat. Barangkali obrolan kita terhadap suatu perkara hukum saat ini terlalu bebas. Terlalu memberikan ruang kepada banyak orang untuk bicara dan mengomentari suatu perkara yang bahkan kadang bukan menjadi bidang keahliannya.
Kadang sudah sesuai keahliannya tetapi perbincangannya diarahkan untuk keluar dari substansi materinya. Akibatnya adalah perbincangan hukum yang mestinya sakral dan berwibawa karena menyangkut sesuatu yang prinsipil seolah menjadi barang receh setara dengan ceriwis, gosip atau ghibah.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta